
Meski menjadi salah satu komoditas unggulan Kabupaten Nunukan, namun banyak pembudidaya rumput laut masih dihantui serangan hama rumput laut.
Hal itu ditegaskan Ketua Asosiasi Rumput Laut Mamolo, Nunukan Selatan, Kamarudin. Kepada Koran Kaltara, Kamarudin menceritakan serangan hama rumput laut mengancam penurunan produksi di petani.
“Ini juga bisa menurunkan standar jual kita kepada pengusaha lainnya,” terangnya, Minggu (10/11/2019).
Menurut dia, salah satu yang menjadi kekhawatiran pembudidaya maupun pengusaha, yakni rumput laut berubah warna keputih-putihan. Sebab, saat ini banyak rumput laut yang dihasilkan berubah warna keputih-putihan di Kabupaten Nunukan. “Memang warna keputih-putihan ini yang kita antisipasi sekarang,” tambahnya.
Kamarudin tak menampik kondisi perairan laut kotor dan bercampur limbah perusahan. Begitu juga dengan pembuangan oli ke laut, menjadi salah satu pemicunya.
“Tapi kita tidak menuduh ya. Karena segala penyakit di air laut, terbawa dan mengenai rumput laut yang kita tanam. Oli kalau bercampur dengan air sekitaran rumput laut sangat berbahaya,” pungkasnya.
Selain menurunkan produksi, kata dia, rumput laut yang berwarna keputihan membuat kualitas rumput laut di Kabupaten Nunukan semakin menurun hingga mempengaruhi nilai jual rumput laut. “Makanya, kita harap pemerintah bisa memerhatikan permasalahan rumput laut di Kabupaten Nunukan. Terutama, mencari penyebab rumput laut yang berubah warna,” jelasnya.
Dia mengatakan, bahwa harga rumput laut yang saat ini mencapai Rp19 ribu per kilogram di petani, tidak menutup kemungkinan naik hingga Rp20 ribu per kg. Itu ergantung kualitas dan kadar kering rumput laut.
“Nah, kalau bercampur yang putih-putih itu merusak harga. Karena putih-putih ini merambat. Satu yang kena maka kena semuanya,” ujarnya.
Kamarudin menjelaskan harga produksi rumput laut pernah mencapai Rp4 ribu ton per bulan, namun seiring adanya serangan penyakit, maka harganya semakin menurun dan hanya bertahan Rp3 ribu ton. “Apalagi saat ini banyak yang putih-putih bisa jadi akan semakin menurun lagi,” pungkasnya.
Apalagi, kata dia, banyak pembudidaya tak memperhatikan kadar kering rumput lautnya. Sehingga membuat rumput laut di Kabupaten Nunukan semakin buruk.
“Saya sudah sering jelaskan. Kadar kering itu bermacam-macam, ada standarnya. Untuk kadar ekspor itu ada dua macam. Yakni, kadar 35% dan paling minim 36% dengan kekeringan 02%-03%. Nah, kadar pabrik 39-40-41 juga bisa sesuai harga untuk pabrik lokal,” ujarnya.
Menurut dia, apabila kadar ekspor 35-36-37-38%, dan disimpan di kontainer dalam waktu cukup lama, maka hal itu tidak menimbulkan masalah. Namun, apabila kadar 40-41-43% dimasukkan ke dalam kontainer, maka membuat rumput laut tambah basah dan mengeluarkan aroma busuk.