Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya cita-cita besar untuk mendorong hilirisasi produk rumput laut RI dan meningkatkan pemasukan negara. Untuk mewujudkannya, produksi rumput laut akan digenjot hingga bisa tembus 2,5 juta hektare.
Sayangnya, rencana hilirisasi ini berpotensi terganggu lantaran para petani rumput laut enggan melakukan budi daya karena harganya anjlok, dari yang sempat menyentuh Rp 42 ribu/kg kini hanya Rp 13 ribu/kg. Hal ini menjadi salah satu pokok pertanyaan yang dibahas dalam Aquaculture Business Forum 2024.
Direktur Sea6 Energy Pvt Ltd Agus S Wiguna menjelaskan, secara konsep ekonomi harga suatu komoditas dipengaruhi oleh supply dan demand. Selain itu, faktor kualitas produk juga turut mempengaruhi.
"Kemarin memang betul harga sempat naik ke Rp 42 ribu, namun pada kenyataannya setelah harga naik, petani tidak mampu menjaga kualitas. Karena harga naik, mereka panen prematur dan kualitas tidak ini. Lalu dari stakeholder lainnya, kayak pengepul, mereka juga ingin cepat jual," kata Agus, dalam acara Indonesia Aquaculture Business Forum 2024 kerja sama detikcom dengan KKP di Hotel Raffles Jakarta, Jakarta Selatan, Senin (29/4/2024).
Karena itulah, setelah tiba di processing atau saat diekspor, kualitas rumput laut yang didapat cenderung menurun. Sehingga dampaknya bisa terasa seperti sekarang. Meski begitu, menurutnya kenaikan harga kemarin merupakan suatu anomali.
"Harga rumput laut kering sebetulnya tidak setinggi itu. Kemarin ada faktor X tertentu yang kita tidak tahu juga, sehingga suplai dari rumput laut itu juga berkurang, sehingga harga naik drastis," ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Firman Hidayat menilai, perlu ada pihak off taker yang menyerap suplai rumput laut itu demi menjaga stabilitas harganya. Dengan demikian, kondisi tersebut bisa diantisipasi dan budi daya rumput laut pun bisa terus berjalan.
"Mau nggak mau apa yang disuplai harus ditangkap oleh off taker atau sisi demandnya, jadi supaya rumput laut harganya bisa terjaga," kata Firman.
Selain itu, potensi-potensi pengembangan sektor hulu atau downstream juga perlu terus diulik sehingga pasar juga bisa diperluas. Dengan begitu, permintaan produk rumput laut pun juga akan meningkat.
"Kita harus cari potensi-potensi aplikasi downstreaming yang lain dari yang ada sekarang. Nggak cuma karadenan, nggak cuman ekspor ke China, kita cari aplikasi lain sehingga harganya bisa terbantu dengan kenaikan demand," jelasnya.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara produsen rumput laut tropikal terbesar di dunia, namun pengembangan industrinya di sektor hulu terbilang belum terlalu optimal. Hal ini menjadi salah satu landasan terbentuknya International Tropical Seaweed Research Center yang berpusat di Indonesia.
"Kita berencana bikin International Tropical Seaweed Research Center yang akan berpusat di Indonesia. Mudah-mudahan bulan depan kita akan launching dalam acara World Water Forum," kata dia.
Nantinya pusat riset itu akan mewadahi ekspertis nasional maupun internasional untuk melakukan riset-riset potensi hulu dari industri rumput laut. Kemenko Marves sendiri punya empat prioritas dalam pengembangannya, meliputi biostimulan, bioplastic, biofuel dan produk olahan makanan.
Selaras dengan hal ini, pekerjaan rumah (PR) lainnya yang perlu diselesaikan RI ialah peningkatan area rumput lautnya, budi daya, hingga produksinya. Menurutnya, salah satunya ialah perlu adanya penetapan lokasi, zonasi, hingga memberikan kemudahan izin-izinnya untuk budi daya.