Rumput laut menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir di seluruh pulau di Indonesia. Tidak kurang dari 70.000 rumah tangga usaha di Indonesia mengandalkan rumput laut sebagai mata pencarian mereka, dari laut maupun tambak.
Kerja sama riset Konservasi Indonesia (KI) dengan UNDANA dan UKAW Kupang pada tahun 2022 menyingkap bahwa pendapatan pembudidaya rumput laut melewati Upah Minimum Regional (UMR) di Sumba dan NTT pada umumnya. Musim panen rata-rata pun mencapai lima kali dalam satu tahun.
Tak terbayang 'cuan' yang bisa diraup dari budi daya rumput laut. Berkah ini tidak terlepas dari luasan laut Indonesia yang dapat dialokasikan untuk budi daya. Walaupun kenyataannya, baru sekitar 102 ribu hektare (Ha) atau 0,8% saja yang digunakan untuk budi daya rumput laut.
Bagi negara, rumput laut juga menjadi salah satu komoditas ekspor andalan selama bertahun-tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi nilai ekspor rumput laut tembus US$398,2 juta pada 2022 atau setara Rp6,3 triliun. Angkanya terus meningkat dari US$181 juta pada 2020 menjadi US$222 juta pada 2021.
Pada tahun lalu, produksi rumput laut tembus 9 juta ton, dengan target 12 juta ton pada tahun ini. Lebih dari 80% hasil budi daya rumput laut itu diekspor ke berbagai negara, terutama Cina. Padahal, Cina merupakan produsen rumput laut nomor wahid di dunia.
Menariknya, Cina piawai dalam mengolah rumput laut, termasuk bahan mentah yang dikirim oleh Indonesia. Di Cina, rumput laut bisa menjadi hidangan lezat di piring setiap rumah tangga, bahan baku kosmetik dan produk perawatan kulit, kertas, tekstil, hingga cat.
Begitu pula di Korea dan Jepang yang sekaligus menjadi konsumen rumput laut paling tinggi di dunia. Sementara di Jerman, bahkan rumput laut dapat disulap menjadi biofuel, bahan bakar yang dihasilkan dari bahan-bahan organik.
Hal ini sempat membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkejut sampai tercetus upaya untuk hilirisasi rumput laut. Tetapi patut diingat, potensi rumput laut yang sangat besar ini diikuti pula dengan tantangan yang tidak kalah besar. Jika tak mau repot, sebenarnya bukan mustahil apabila Indonesia ingin mengekspor 100% rumput lautnya.
Penelitian KI di sejumlah wilayah kerja program rumput laut, antara lain Sumba Timur dan Lombok, mengungkap produk yang diekspor berupa Alkali Treated Cottonii (ATC) untuk pembuatan karagenan murni. Lebih dari itu, rasanya sumber daya manusia di Indonesia 'angkat tangan.'
Memang ironi, mengingat Indonesia adalah produsen rumput laut terbesar kedua di dunia. Persoalan lainnya terletak pada derived demand atau permintaan terhadap olahan rumput laut yang nyaris nihil di dalam negeri. Tengok saja, hanya sedikit rumput laut Indonesia yang diolah menjadi bahan baku makanan.
Proteksi Dulu, Hilirisasi Kemudian Bagi Konservasi Indonesia, budi daya rumput laut adalah peluang ekonomi yang dapat dikelola secara berkelanjutan. Tujuannya agar budi daya rumput laut segendang sepenarian alias berjalan beriringan dengan tujuan konservasi laut, termasuk dalam mendukung penghidupan masyarakat pesisir.
Proteksi merupakan bagian upaya konservasi, mengingat pertumbuhan rumput laut menjadi salah satu indikator laut yang sehat. Sebab, rumput laut tidak akan tumbuh subur pada suhu air laut yang terlampau tinggi. Kondisi itu mendorong pembudidaya untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, lokasi budi daya rumput laut dapat memengaruhi kesehatan terumbu karang. Karenanya, praktik budi daya rumput laut juga harus menghindari perusakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila tujuan proteksi ini terwujud, maka produksi rumput laut yang dihasilkan menjadi lebih berkualitas.
Dengan demikian, nilai ekonomi yang tercipta bisa lebih besar lagi, baik bagi petani rumput laut maupun masyarakat pesisir, mengingat budi daya rumput laut tidak menuntut banyak keterampilan. Kita ketahui, budi daya rumput laut relatif simpel, murah, mudah, dengan lahan tanam yang terbuka lebar dan belum banyak dimanfaatkan masyarakat pesisir.
Pertumbuhannya pun subur tanpa pengawasan dan pemeliharaan ekstra laiknya tanaman lain, seperti jagung, padi, dan buah-buahan.
Selanjutnya, yang menjadi pekerjaan rumah (PR) adalah hilirisasi rumput laut. Misalnya, yang terbaru yang dilakukan banyak rekan-rekan di perguruan tinggi, yakni membuat beras dari rumput laut untuk campuran mengkonsumsi nasi.
Dengan inovasi tersebut, harapannya konsumsi rumput laut dapat meningkat, yang juga berarti menyehatkan anak bangsa karena mengandung serat dan nutrisi penting lainnya bagi tubuh. Di sisi lain, beras rumput laut dapat menjadi diversifikasi konsumsi beras yang mendominasi kebutuhan pangan pokok penduduk Indonesia.
Sebab bukan rahasia umum, impor beras kerap dilakukan saat produksi defisit. Sembari juga, terus menggalakkan penelitian dan uji coba pengolahan dan inovasi rumput laut menjadi komoditas bernilai tambah tinggi. Harapannya, dengan potensi budi daya yang 70% luas Indonesia merupakan laut, cita-cita melakukan hilirisasi rumput laut menjadi biofuel tak sekadar isapan jempol belaka.