
DENPASAR - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali kini tengah berupaya membangkitkan kejayaan komoditas rumput laut.
Pasalnya, budidaya rumput laut sempat ditinggalkan oleh masyarakat karena terlena kenikmatan pariwisata.
"Sekarang memang yang mulai kita bangkitkan kembali adalah rumput laut. Karena rumput laut kita ini sempat ditinggalkan oleh pembudidaya kita karena terlena dengan pariwisata," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, I Made Sudarsana di kantornya, Rabu 27 Januari 2021.
Saat pariwisata bahari berkembang di Nusa Penida, para petani meninggalkan budidaya rumput laut.
Bahkan produksi rumput laut di wilayah tersebut hampir sama sekali tidak ada.
Untungnya menjelang pandemi Covid-19 yaitu sekitar pertengahan 2019, pihaknya bersama Kelompok Ahli Provinsi Bali mulai mengembangkan rumput laut di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.
"Kita mulai di Lembongan awalnya dan kita bekerja sama dengan Bupati Klungkung juga. Kemudian untungnya ketika Covid-19 mulia merebak, pariwisata di sana dikatakan kolaps. Nah di sini akhirnya masyarakat Nusa Penida kembali membudidayakan rumput laut," tuturnya.
Selain di Nusa Penida, potensi pengembangan rumput laut juga berada di daerah lain, seperti di Bali utara dan timur.
"Jadi kita sekarang ini memang akan mengembangkan kembali rumput laut itu," tutur Sudarsana.
Pembudidayaan rumput laut di Bali dari dahulu mempunyai beberapa keunggulan, yakni adanya senyawa karagenan yang baik, kontinuitas produksi yang bagus dan jumlah produksi yang mencapai ratusan ribu ton.
"Nah itu sempat drop kemarin saat pariwisata berkembang," jelas mantan Kepala Bidang Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali itu.
Sudarsana mengatakan, pemasaran rumput laut di Bali awalnya berorientasi untuk diekspor, hanya saja upaya itu dilakukan melalui pelabuhan di Surabaya.
Sebelum diekspor, hasil panen rumput laut dilakukan proses pengeringan.
Setelah kering, rumput laut kemudian dikemas dan dikirim ke pelabuhan di Surabaya untuk diekspor.
Ekspor rumput laut ini dilakukan ke dua negara yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Perancis.
Namun pengembangan rumput laut yang dilakukan saat ini tidak lagi untuk ekspor, melainkan bakal dikembangkan produk turunan.
Berbagai produk turunan rumput laut ini rencananya akan dibuat seperti souvernir, permen, sabun, obat-obatan dan berbagai produk lainnya.
"Sehingga ke depan, produksi rumput laut yang kita hasilkan tidak kita ekspor begitu saja, tetapi kita olah menjadi produk jadi daerah Bali ini," terang Sudarsana.
Dirinya menuturkan, sejak dahulu memang sudah ada beberapa masyarakat yang merintis pengolahan produk turunan dari rumput laut.
Hanya saja sistem pemasaran produk turunan ini masih dipegang oleh benerapa pengepul.
Kondisi ini menyebabkan pihaknya tidak bisa mengembangkan produk turunan karena terdapat banyak kendala yang harus dihadapi.
Ke depan, pihaknya akan mencoba untuk membuat beberapa produk turunan yang dikerjasamakan dengan Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRID) Provinsi Bali, perguruan tinggi dan berbagai lembaga swadaya masyarakat.
Dalam mengembangkan produk turunan rumput laut ini dilakukan sesuai dengan konsep pembangunan berdikari dari Gubernur Bali.
Maka dari itu, pengembangan produk turunan rumput laut bakal berupaya untuk membedayakan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), perusahaan rumah tangga dan koperasi.
"Itulah nanti yang akan kita ajarkan teknologi pengolahannya sehingga dia menjadi suatu produk," terangnya.
Dalam produksi sabun cair rumput laut misalnya, Sudarsana akan mengarahkan produk turunan itu kepada masyarakat di Nusa Penida dan juga dijual kepada pelaku pariwisata di sana.
Oleh karena itu, berbagai penginapan yang ada di Nusa Penida bakal diwajibkan untuk menggunakan sabun cair dari rumput laut yang juga berasal dari sana.
"Jadi begitu polanya, sehingga margin itu tidak ada terbuang. Tidak ada bebam margin di sana sehingga semua peluang itu kita dapatkan sendiri dan berputar di tempat sendiri. Konsep pembangunan Pak Gubernur kan seperti itu," paparnya.
Bagi Sudarsana, pembuatan produk turunan dari rumput laut ini tidak terlalu sulit. Pasalnya selama ini memang sudah ada beberapa produk turunan yang memang sudah dibuat.
Bahkan dahulu sudah pernah ada rencana untuk bekerja sama dengan Balai Pengelola Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar untuk membuat sedotan dari bahan rumput laut.
Namun sayangnya, setelah dihitung, nilai ekonomi dari produk tersebut masoh terlalu tinggi sehingga tidak terjangkau bagi masyarakat.
"Itu bisa dan sudah pernah kita coba tapi secara ekonomisnya belum masuk. Jadi seperti itulah yang tyang pernah lakukan," tuturnya.