
Pacitan - Musim rumput laut menjadi berkah bagi warga di pesisir Kota 1.001 Gua. Dengan sedikit sentuhan tangan dingin, tumbuhan yang berkembang liar di laut ini disulap menjadi produk kuliner bernutrisi tinggi.
Roda ekonomi rumah tangga pun berputar seiring kreativitas warganya. Puluhan mangkuk keramik tertata rapi di lantai dapur rumah Misirah (55).
Sementara uap air terus menyembul dari sela tutup panci di atas tungku penuh bara api. Di dalam tungku itulah rumput laut direbus hingga berubah menjadi agar-agar.
Tentu saja, sebelumnya harus melalui beberapa tahapan pengolahan serta penambahan bumbu. Begitu juga yang telah dilakukan Misirah sebelumnya.
Tangan Misirah tak henti mengatur posisi kayu bakar agar tak keluar dari mulut tungku. Pasalnya, intensitas pemanasan sangat menentukan mutu agar-agar yang dihasilkan.
Pada saat bersamaan, sebentar-sebentar nenek ini mengalihkan pandangannya ke jam dinding yang menempel di atas pintu. Lamanya perebusan memang terpatok waktu.
"Pengolahan ndak boleh lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari itu jadinya terlalu encer," ujar Misirah yang tinggal di Dusun Godek Wetan, Desa Jetak, Kecamatan Tulakan, Sabtu (7/10/2023) pagi.
Genap satu jam perebusan, Misirah segera mengangkat panci berisi cairan mendidih itu. Untuk melindungi diri dari hawa panas, ia mengenakan sehelai kain bekas untuk melapisi telapak tangan.
Wadah berbahan aluminium itu lantas diletakkan di lantai. Lalu dibiarkan hingga benar-benar dingin.
Sebuah sendok besar bernama irus pun sudah disiapkan untuk memindahkan rumput laut cair ke dalam mangkuk. Satu per satu mangkuk terisi cairan lumer berwarna hijau keputihan.
Citra itu terlihat akibat campuran bahan baku rumput laut dengan santan yang diaduk merata, saat proses pemanasan. Sekali memasak agar-agar, dirinya menghabiskan bahan baku rumput laut kering 1 kilogram.
"Setelah dituangkan terus dibiarkan sampai dingin. Nanti jadinya seperti bentuk mangkuk," imbuh perempuan yang mengaku sudah puluhan tahun membuat agar-agar rumput laut.
Bahan baku rumput laut itu dibelinya langsung dari nelayan. Setelah matang dan dimasukkan ke dalam cetakan, jeli yang dihasilkan menjadi puluhan bagian seukuran mangkuk. Masing-masing dijual seharga Rp 3 ribu.
Faktor pemasaran juga bukan menjadi kendala berarti. Posisi tempat tinggal Misirah yang berada di antara 2 pasar tradisional, semakin memudahkan penjualan.
Dia membawa sendiri produknya ke Pasar Wonoanti yang terletak di desa tetangga. Sementara saat hari pasaran Legi, dia menjual dagangannya ke Pasar Desa Jetak yang berjarak 1 kilometer dari rumahnya.
"Alhamdulillah, pulang dari pasar kadang bawa uang Rp 75 ribu, kadang juga dapat Rp 100 ribu," ucapnya dengan wajah sumringah.
Sebenarnya untuk membuat agar-agar rumput laut yang lembut dan legit bukan hal sulit. Bahkan jeli bikinan Misirah tak kalah dengan produk pabrikan.
Sama sekali tidak beraroma apek atau amis. Ternyata kuncinya ada di proses pembersihan bahan baku. Sedikitnya butuh 5 kali pencucian dengan air bersih sebelum rumput laut dimasak.
"Butuh banyak air ya waktu nyucinya itu," pungkasnya.