
Dalam sebulannya, limbah botol plastik rumput laut mencapai 25 ton. Data itu tercatat di Dinas Perikanan Nunukan, yang setiap bulannya hanya mampu mengumpulkan 10 persen dari botol bekas pelampung bentangan rumput laut tersebut.
Kepala Dinas Perikanan Nunukan, Suhadi mengakan, limbah botol rumput laut yang mencapai 20 hingga 25 ton per bulan, dikarenakan meningkatnya pembudidaya dan produksi rumput laut di Nunukan.
“Padahal kita sudah sering diingatkan sampah botol bekas pelampung mereka untuk dikumpulkan kan bisa dijual, tapi nyatanya masih ada saja masyarakat yang belum peduli, cuek akan limbah dari botol plastik rumput laut mereka,” ujar Suhadi kepada wartawan, Kamis (18/8).
Hal itu, juga terlihat dengan masih banyaknya botol plastik yang hanyut di perairan di Nunukan. Itu termasuk, ketika masyarakat sedang panen rumput laut, kemudian talinya didaur ulang, jika pembudidaya melihat ada botolnya sudah bocor, maka botolnya akan dibuang. “Itu lagi permasalahannya, kadang mereka cuci di area sungai, laut, di situlah langsung mereka buang begitu saja botolnya dari pada membawa ke darat, mungkin mikirnya berat lagi membawa ke darat,” tambah Suhadi.
Meski dihargai, Suhadi memandang pembudidaya lebih memilih membentang dari pada menjual botol bekas pelampung mereka. Pada akhirnya, botol-botol bekas pelampung mereka yang bisa dijual, menjadi terbengkalai.
Suhadi juga mengaku, dari 25 ton sampah plastik, pihaknya hanya bisa mengumpulkan tidak sampai 10 persen saja per bulannya. Saat ini, mereka terkendala tenaga kerjanya.
Suhadi menerangkan, penggunaan botol sebagai pelampung rumput laut, biasanya digunakan pembudidaya hanya digunakan sampai dua kali panen saja. Setelah panen kedua itulah, ada ribuan bahkan puluhan ribu botol bekas pelampung bentangan rumput laut yang dibuang.
Meski begitu, Suhadi sudah mengajak pembudidaya menggunakan pelampung berbentuk bola yang sudah pernah dibuat. Pelampung tersebut lebih tebal dan tahan lama. Ketahannya, bisa digunakan 5 hingga 7 tahun lamanya. “Tapi memang di Nunukan stoknya terbatas. Ada yang berbentuk bola yang diproduksi di Nunukan tapi masih tipis, makanya dikaji lagi untuk dilakukan pembenahan,” ungkap Suhadi.
Suhadi sendiri mengaku, sudah sering memberikan edukasi kepada masyarakat. Namun hasilnya tetap saja belum bisa memberikan solusi. “Kalau kita diamkan begini terus, maka ekosistem di laut akan tercemar dan dampaknya itu akan sulit lagi bagi menanam rumput laut. Limbah ini juga bisa memengaruhi kesehatan sebenarnya. Namun keadaannya sudah seperti ini,” beber Suhadi.