Indonesia, produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, berencana melarang ekspor rumput laut di skala nasional, setelah sempat memberlakukan larangan ekspor di tingkat provinsi pada 2022.
Larangan tersebut, menurut pernyataan Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada November lalu, akan mendorong investasi pengolahan rumput laut dalam negeri.
Namun, penelitian saya tentang rantai nilai rumput laut di Indonesia menunjukkan bahwa larangan ekspor akan berdampak buruk pada produksi rumput laut dalam negeri. Budidaya rumput laut merupakan kegiatan budidaya laut terbesar di Indonesia, yang berkontribusi US$1,89 miliar dari total $2,05 miliar produksi budidaya laut Indonesia setiap tahunnya. Selama dua puluh tahun terakhir, industri rumpul laut berkembang pesat dan kini mendukung mata pencaharian sekitar 62.000 pembudidaya, serta lebih banyak lagi orang di masyarakat pesisir yang bekerja sebagai pekerja harian lepas di industri ini.
Larangan ekspor kemungkinan besar akan menyebabkan harga komoditas yang lebih rendah, membuat petani beralih ke sumber pendapatan lain dan mengurangi produksi nasional. Pada akhirnya, kebijakan ini juga akan merugikan pengolah dalam negeri yang harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar asing yang beroperasi di Indonesia untuk mendapatkan pasokan rumput laut.
Ancaman terhadap harga dan produksi
Selama satu dekade terakhir, pemerintah telah mempertimbangkan larangan ekspor untuk mencegah penjualan rumput laut mentah ke pasar global selama satu dekade terakhir. Sejauh ini, kebijakan ini belum diterapkan secara nasional.
Namun, Nusa Tenggara Timur menerapkan larangan provinsi terhadap ekspor rumput laut pada 2022.
Umumnya, pemerintah negara-negara memberlakukan larangan ekspor untuk mendukung nilai tambah domestik dengan melindungi industri dari persaingan internasional. Hanya sepertiga dari produksi rumput laut Indonesia yang diproses di dalam negeri, dan sisanya dikirim ke luar negeri.
Saya melakukan penelitian kolaboratif multidisiplin tentang rantai nilai rumput laut sejak tahun 2020 untuk mengeksplorasi bagaimana dinamika industri dan kebijakan internasional dan nasional memengaruhi mata pencaharian petani. Penelitian ini melibatkan pemeriksaan terperinci terhadap rantai nilai rumput laut di Indonesia, demi memahami faktor-faktor global dan regional yang memengaruhi harga dan mata pencaharian petani.
Riset saya menunjukkan bahwa ketika pembatasan ekspor diberlakukan, petani tidak dapat lagi menjual ke pembeli internasional dengan harga pasar dunia. Sebaliknya, mereka harus menjual dengan harga yang ditentukan oleh permintaan domestik.
Dengan semakin sedikitnya pembeli yang bersaing untuk mendapatkan produk, harga rumput laut Indonesia akan segera tereduksi dari harga dunia yang lebih tinggi ke harga yang ditetapkan oleh permintaan lokal Indonesia.
Karena petani rumput laut sangat responsif terhadap perubahan harga, mereka dapat dengan mudah memilih untuk tidak menanam rumput laut lagi jika harganya terlalu rendah. Ini berarti bahwa ketika harga turun, produksi juga turun karena petani tidak termotivasi untuk memproduksi rumput laut sebanyak sebelumnya.
Para petani ini dapat mengalihkan keuntungan dari rumput laut dan menginvestasikannya pada kegiatan lain, seperti memancing di laut atau budidaya udang dan ikan di tambak. Mereka mungkin memproduksi rumput laut hanya di daerah dan musim yang menguntungkan, dan cenderung tidak akan bertahan ketika hasil panen rendah.
Jika hal tersebut terjadi, seiring berjalannya waktu, produksi rumput laut akan menurun, persaingan untuk mendapatkan rumput laut akan meningkat, dan harga akan naik lagi–tetapi tidak setinggi harga sebelum pelarangan.
Efek dari hal ini ditunjukkan di bawah ini: harga pada awalnya akan turun secara signifikan, kemudian naik lagi ketika produksi turun. Harga dan produksi kemudian akan stabil pada tingkat yang lebih rendah.
Akibatnya, larangan ekspor kemungkinan besar akan menurunkan harga yang diterima petani rumput laut, serta menyusutkan total produksi rumput laut Indonesia.
Kompetisi dari dalam negeri
Pemerintah bermaksud melarang ekspor untuk mendukung nilai tambah dalam negeri dengan mengurangi persaingan untuk mendapatkan bahan baku. Namun, dengan merujuk pada skema di atas, pengolah rumput laut Indonesia masih harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar milik asing yang berbasis di Indonesia.
Pengolahan rumput laut di Indonesia didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar milik Cina, yang memiliki banyak karyawan dan beroperasi dengan biaya tinggi.
Perusahaan-perusahaan milik asing ini menguasai sekitar setengah dari seluruh pengolahan rumput laut di Indonesia. Rata-rata, skala bisnisnya empat kali lebih besar dari perusahaan domestik. Mereka tidak dapat dengan mudah menghentikan produksi. Imbasnya, mereka akan mencoba untuk terus membeli rumput laut saat pasokan menurun dan biasanya bersedia membayar lebih mahal daripada perusahaan lokal yang lebih kecil.
Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa larangan ekspor rumput laut mentah mungkin tidak akan membantu para pengolah dalam negeri untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pihak asing. Setiap perusahaan yang mengejar penggunaan alternatif untuk rumput laut–seperti bioetanol, biostimulan, atau bioplastik–juga harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan pengolahan besar milik Cina.
Cara-cara alternatif untuk meningkatkan produksi rumput laut
Alih-alih menerapkan kebijakan perdagangan pertanian yang restriktif, pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan cara-cara lain untuk mendorong pertumbuhan sektor rumput laut–misalnya dengan membantu para petani menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, pemerintah dapat mendukung industri dalam negeri untuk meningkatkan teknologi pemrosesan yang lebih efisien. Mereka juga dapat berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan di sektor ini.
Pemerintah Indonesia telah melakukan hal ini dengan beberapa cara, misalnya dengan mendukung penelitian produk alternatif dari rumput laut, seperti bioetanol.
Namun, kebanyakan teknologi ini saat ini masih terlalu mahal. Pembuatan bioetanol, misalnya, perlu memecah dinding sel rumput laut yang keras. Proses ini memakan banyak energi dan seringkali mahal. Ini berarti lebih murah untuk memproduksi bioetanol dari produk selain rumput laut.
Mengembangkan produk alternatif yang layak secara ekonomi dari rumput laut akan membutuhkan investasi berkelanjutan untuk meningkatkan keekonomian pengolahan, bukan intervensi pasar jangka pendek.
Ada cara lain untuk mendukung pertumbuhan dan efisiensi industri rumput laut. Sebagai contoh, menerapkan sistem nasional untuk pemantauan satelit budi daya laut dapat membantu kita memahami bagaimana petani merespons perubahan jangka panjang dan musiman untuk mendukung produksi dan ketahanan petani terhadap perubahan iklim.
Teknologi digital dapat memberikan peluang untuk meningkatkan produktivitas dan ketahanan budi daya rumput laut petani kecil, tetapi perlu dirancang untuk memberi manfaat bagi petani rumput laut dan masyarakat pesisir.
Perlu diingat bahwa budidaya rumput laut memainkan peran penting dalam kehidupan lebih dari 1 juta penduduk Indonesia serta dalam pembangunan pedesaan dan inisiatif ekonomi biru pemerintah. Budidaya rumput laut juga dapat berperan dalam mendukung adaptasi masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim.
Menjaga pertumbuhan industri rumput laut Indonesia yang berkelanjutan akan membutuhkan pemahaman yang baik tentang penawaran dan permintaan rumput laut, mata pencaharian petani, penyerapan teknologi petani serta pasar global. Ini bukanlah jalan yang pendek, tetapi lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.