Kekayaan laut Indonesia, membuat negara ini menjadi negara yang memproduksi rumput laut cottonii terbesar di dunia.
Selain rumput laut cottoni, Indonesia ternyata juga menjadi pengimpor terbesar produk olahan rumput laut terutama produk karaginan. Seharusnya, Indonesia justru menjadi leader untuk industri rumput laut dan turunannya terutama untuk jenis cottonii.
Di Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof Uju mengatakan limbah padat karaginan (pengolahan refined carrageen) dapat diolah menjadi biosugar dan bioethanol.
Menurutnya, limbah padat karaginan ini memiliki kadar lignin yang lebih rendah serta kadar selulosa 34 persen.
Kadar ini mendekati kadar biomassa tanaman darat sehingga bisa dikonversi atau diubah menjadi biosugar (glukosa) dan bioethanol.
“Kami memanfaatkan teknologi pretreatment ionic liquid [Hpy][Cl] untuk mengkonversi selulosa limbah padat karaginan menjadi gula yang cepat, efisien dan lebih ramah lingkungan," ujarnya dilansir dari laman IPB University.
Ia mengatakan, pengolahan limbah padat karaginan menjadi bioetanol juga memiliki nilai konversi yang tinggi dengan biaya produksi yang bersaing dengan bioetanol berbahan baku tebu dan dari jenis pati-patian.
Prof Uju mengenalkan pendekatan biorefinery atau kegiatan pengolahan industri untuk mengembangkan potensi dan pemanfaatan rumput laut carrageenophyte cottonii.
“Rumput laut Kappaphycus (cottonii) selain dapat menghasilkan karaginan juga dapat menghasilkan bahan-bahan biokimia lainnya. Yakni pigmen fikoeritrin, selulosa, pupuk, bioetanol, gula serta produk biokimia lainnya yang memiliki nilai jual dan nilai tambah yang tinggi untuk industri pengolahan karaginan,” ujarnya.
Menurut Prof Uju, fikoeritrin ini banyak digunakan sebagai pewarna dalam makanan, obat-obatan, dan kosmetik. Harganya bisa mencapai US$ 3,45-14 atau antara Rp 43 -200 ribu per miligram.
Untuk mengekstraksi pigmen fikoeritrin, umumnya dilakukan dengan maserasi pada suhu rendah. Sehingga perlu waktu yang lama, lebih dari 24 jam.
“Kami menggunakan akselerasi ultrasonikasi untuk mengekstraksi pigmen fikoeritrin. Ternyata metode ini dapat mempersingkat waktu ekstraksi empat kali lebih cepat serta konsentrasi pigmen yang dihasilkan 1,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan proses maserasi biasa (proses pemurnian sederhana dengan amonium sulfat menghasilkan indek kemurnian 1,2 (food grade). Indeks kemurnian ini masih dapat ditingkatkan untuk memperoleh indek kemurnian produk farmasi,” tutur dosen yang juga Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK IPB University ini.
Masalah dan tantangan yang lain yang muncul pada industri refined carrageenan menurutnya adalah tingginya biaya proses pemurnian karaginan.
Pemurnian menggunakan alkohol akan menghasilkan mutu karaginan yang lebih baik dan harga yang lebih mahal.
Prof Uju mengatakan bahwa proses ini membutuhkan jumlah volume alkohol yang banyak. Yaitu 1,5 – 4 kali volume filtrat ekstrak rumput laut.
“Kami mencoba menerapkan proses mikrofiltrasi. Dan inovasi ini, kami dapat mengurangi penggunaan volume alkohol 4,5-12 kali sehingga biaya produksi untuk proses presipitasi dapat dikurangi. Proses mikrofiltrasi juga secara signifikan dapat meningkatkan kemurnian refined carrageenan. Gel yang dihasilkan pun menjadi lebih kuat dan dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO-JECFA,” terangnya.