Jakarta - Salah satu wilayah yang banyak menghasilkan rumput laut di Indonesia adalah Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Wilayah yang melingkupi Pulau Sawu, Pulau Raijua, dan Pulau Dana ini menjadi daerah penghasil rumput laut paling produktif di Indonesia, mengalahkan wilayah Sulawesi Selatan pada 2023.
Banyak penduduknya bekerja sebagai petani rumput laut sebagai usaha rumahan yang mengandalkan sepenuhnya pada alam seperti, sinar matahari dan garis pantai sebagai tempat menanam. Usaha budi daya rumput laut pada masyarakat di Kabupaten Sabu Raijua sudah dirintis pemerintah daerah sewaktu kabupaten ini masih bergabung dengan Kabupaten Kupang pada 1999.
Jenis rumput laut yang dikembangkan adalah Eucheuma cottonii. Pemanfaatan terhadap wilayah laut ini nyatanya tidak terlepas dari konsekuensi negatif yang terjadi pada laut dan biota di dalamnya."Beberapa kegiatan tidak ramah lingkungan yang pernah dilakukan oleh para pembudidaya rumput laut ini adalah mencungkil karang, membabat lamun, memotong mangrove untuk digunakan sebagai tonggak, menganggap penyu sebagai hama, dan menggunakan botol plastik sebagai pelampung," sebut M. Zia Ul Haq, Manajer Program Savu Sea Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dalam acara Thoughts Leader Forum ke-31, Rabu, 28 Februari 2024.
Menyadari hal itu, sebuah organisasi kemasyarakatan turun tangan mengubah cara pembudidayaan rumput laut agar lebih ramah lingkungan. YKAN memulainya dengan melakukan pendekatan sosial kepada para petani rumput laut setempat.
1. Program Pendampingan untuk Budi Daya yang Ramah Lingkungan
Dua desa di Sabu Raijua, Desa Oelolot dan Desa Mbueain menjadi proyek program pendampingan pertanian rumput laut berkelanjutan. Dalam program tersebut, YKAN mengajak para petani untuk menerapkan praktek manajemen terbaik (Best Management Practices).
Praktek ini bertujuan untuk memprioritaskan pengelolaan, penanaman, hingga pemilihan tempat yang mempertimbangkan lingkungan. Selain itu, dengan BMP, para petani diajak untuk memasarkan produk mereka ke pembeli yang peduli lingkungan seraya dibekali keterampilan pembukuan dasar.
YKAN juga bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT untuk melatih para petani terkait cara terbaik dalam menangani kendala-kendala mereka dengan cara yang ramah lingkungan. Pelatihan terhadap para petani ini meliputi penanaman menggunakan metode Anaconda (bibit dijahit pada tali tanam, sehingga menyerupai ular) untuk menghemat tempat, peletakan tali tanam yang rapat sehingga penyu tidak tertarik untuk datang mendekat dan memakan tanaman, hingga teknik jemur gantung untuk menghemat lahan penjemuran.
YKAN juga mengintegrasikan budi daya rumput laut ke dalam nomenklatur perencanaan pembangunan desa, sehingga kegiatan ini masih bisa terus dilakukan meskipun program telah selesai.
2. Pelampung dari Botol Plastik Belum Bisa Tergantikan Sepenuhnya
Dalam acara bertajuk "Pengembangan Budi Daya Rumput Laut Berbasis Konservasi untuk Mendukung Ekologi dan Ekonomi Masyarakat," YKAN mencoba membuka ruang diskusi terkait permasalahan dan solusi budi daya rumput laut di Sabu Raijua dan Indonesia.
Sulastri H. I. Rasyid, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT menjelaskan soal kendala yang dihadapi oleh petani rumput laut.
"Ketersediaan bibit yang tidak memadai, aplikasi metodologi budi daya yang belum ramah lingkungan, sumber daya manusia yang terbatas, penanggulangan penyakit ice-ice, diversifikasi produk olahan rumput laut, dan permasalahan integrasi distribusi dari hulu hingga hilir ini adalah sejumlah kendala yang dimiliki oleh para petani rumput laut yang ada di NTT saat ini."
Karena kurangnya pengetahuan soal metode budi daya ramah lingkungan, masyarakat kerap menggunakan cara yang tidak memperhatikan lingkungan. Selain itu, dilema penggunaan alat tanam seperti botol plastik sebagai pelampung juga menjadi perdebatan.
Penggunaan botol plastik dianggap sebagai pilihan yang paling murah untuk para petani. Alternatif pelampung dari tempurung kelapa yang lebih mahal juga belum terbukti bisa bertahan lebih lama ketimbang botol plastik.
3. Tengkulak Masih Jadi Masalah
Bupati Sabu Raijua Nikodemus Nithanael Rihi Heke, menambahkan bahwa penangkapan ikan dan biota laut menggunakan bahan kimia berbahaya turut menyumbang kerusakan terhadap budi daya rumput laut. Trihadi Saptoadi, Direktur Eksekutif Tahija Foundation, salah satu pendana untuk program YKAN mengatakan bahwa permasalahan yang dialami para petani rumput laut tidak berhenti pada permasalahan ekosistem saja.
Ia memandang bahwa apa yang para petani ini hadapi bukan hanya soal penanaman dan pemanenan. "Semua keuntungan dari para petani ini habis di Middle-Men atau tengkulak, itu juga jadi masalah," ungkapnya.
Tri mengatakan bahwa pengembangan teknologi dan skema penjualan juga diperlukan untuk memutus mata rantai pengepul yang merugikan petani. Selain itu, Zian menambahkan bahwa salah satu tantangan terbesar YKAN saat ini adalah terkait pemberian insentif bagi para petani yang mengaplikasikan penanaman rumput laut berkelanjutan, karena penjualan rumput laut yang ramah lingkungan atau tidak tetap dihargai sama oleh para tengkulak.
YKAN juga berusaha untuk memperluas pasar bagi penjualan rumput laut dengan melatih kelompok perempuan untuk mengolah rumput laut menjadi produk makanan atau minuman. Hal ini diharapkan bisa membantu para petani yang menggantungkan ekonominya pada budi daya rumput laut.