
“Bibit” Maumere (Kappaphycus alvarezii) yang didatangkan kepada petani rumput laut di dusun Mattoanging, Bantaeng saat ini sudah menyebar sangat luas. Hampir seluruh petani rumput laut di empat kabupaten penghasil utama rumput laut cottonii di Sulawesi Selatan sudah membudidayakan jenis ini. “Bibit” ini menggantikan keunggulan dari “bibit” local sebelumnya. Batang yang lebih besar dan lebih tahan patah akibat terjangan ombak menajadi salah satu alasan keunggulan bibit ini, selain itu “bibit” ini relatif lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan “bibit” local.
“Bibit” Maumere yang asalnya dari Philipina lebih popular dikenal ditempat asalnya sebagai jenis tambalang. Petani di Sulawesi Selatan lebih mengenal jenis ini dengan nama Maumere, karena awalnya “bibit” tersebut dibawa dari Maumere. Di beberapa tempat lain “bibit” ini juga disebut dengan bibit Bangkok “besar’ dikarenakan batang “thallus” berukuran lebih besar terutama dimusim hujan.
Lain lagi dengan petani rumput laut di Gorontalo, khususnya di Kwandang dan Anggrek dimana mereka mempunyai “bibit” sendiri yang jenisnya agak berbeda dengan jenis rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia. Petani setempat menyebutnya dengan nama “kulit buaya” dikarenakan thallusnya berduri yang durinya lebih pendek dibandingkan dengan jenis spinosum (Eucheuma denticulatum). Duri-durinya “bump’ akan lebih jelas terlihat dimusim panas dan hampir tidak muncul pada saat musim hujan serta warnanya coklat-merah.
Beberpa petani Gorontalo sudah pernah mencoba “bibit” Maumere di lokasi dimana mereka membudidayakan jenis kulit buaya, para petani melaporkan bahwa “bibit” Maumere tidak begitu tahan terhadap hama “wereng” sehingga mereka tetap membudidayakan jenis kulit buaya. Namun demikian, menurut Pak Rustam Naue, salah seorang petani dari Tolango, Anggrek bahwa factor kesuksesan betani rumput laut lebih banyak dipengaruhi dari faktor kerajinan petani dalam pemeliharaan.
Para petani di Gorontalo tidak mengetahui dengan pasti dari mana asalnya bibit tersebut. Pak Kamaruddin Pomanto petani dari Desa Tolongio, Anggrek yang sudah melakoni budidaya sejak tahun awal 90an mengatakan bahwa kemungkinan bibit itu hanyut dibawa arus dan dibudidayakan di daearahnya.
“Bibit” ini hanya banyak ditemukan di Kecamatan Anggrek dan Kwandang dan masih kurang ditemukan di daerah lain di perairan Gorontalo. Sejak bulan Mei 2008 bibit ini juga telah dibudidayakan di desa Bonto Ujung, Jeneponto yang dikembangkan oleh Paletteri Dg Lewa. Menurut Dg Lewa “bibit” ini lebih tahan dibandingkan dengan “bibit” Maumere terutama terhadap iklim yang lebih ekstrim. Selanjutnya Dg Lewa juga mengatakan bahwa “bibit” Maumere yang selama ini dibudidayakannya sudah rontok namun, kulit buaya ini masih bertumbuh dengan baik. Saat ini Dg lewa sudah mengembangkannya menajadi 500 tali ris. Dia juga sudah memberikan kepada beberapa petani lain di daerahnya.
“Bibit” kulit buaya juga sedang dicoba untuk dikembangkan di Teluk Lemito, Gorontalo yang berjarak 250 km dari daerah asalnya. “Bibit” ini dapat tumbuh dengan baik dan lebih tahan terhadap hama poliosiphonia yang oleh petani setempat menyebutnya sebagai “wereng”. Hama ini merupakan hama yang paling ditakuti oleh petani Lemito, Gorontalo. Bentuk fisik dari hama ini berupa tumbuhan dengan batang halus seperti rambut berwarna putih yang tumbuh menempel pada batang rumput laut dan prinsip makanannya sama dengan tanaman benalu. Rumput laut yang terserang wereng ini dipastikan akan terganggu pertumbuhannya sehingga langkah yang terbaik untuk mengatasinya ialah dengan memanennya dan mengganti dengan bibit yang bebas “wereng” dan sehat.
Hasil test sampel “kulit buaya” yang diuji oleh CPKelco di Cebu and PT. Indogum di Jakarta menunjukkan bahwa yield (kandungan karagenan) mencapai kisaran 30% dan kekuatan gel mencapai 821-956 cm2 . Kedua nilai indicator ini berada di atas nilai rata-rata yield dan kekuatan gel (gel strength) rumput laut jenis cottonii lainnya. Pada umumnya standar yield cottonii dikisaran 25-27 dan kekuatan gel-nya di kisaran 600 cm2. jika jenis “kulit buaya” bisa dikembangkan dengan baik, maka jenis kulit buaya bisa menjadi salah satu bibit unggul asal Indonesia.
Pada umumnya bibit rumput laut yang dikembangkan Indonesia adalah bibit yang berasala dari Pilipina seperti Maumere. Selama ini bibit asli Indoneisa yang berkembang dengan baik adalah jenis Spinosum. “Bibit” ini memang mempunyai pertumbuhan yang bagus dan lebih cepat bahkan sangat tahan dengan kondisi alam yang lebih ekstrim. Namun, karena perminataan pasar yang sangat terbatas menyebabkan “bibit” ini kurang diminiti petani.
Selain “bibit” Spinosum, tanaman asli Indonesia lainnya adalah “bibit” cottonii varietas Sumba. “Bibit” ini berasal dari Pulau Sumba, NTT. Selain di budidayakan di Sumba, “bibit” ini juga banyak dibudidayakan di Sumenep, Madura.